40 HADITS TENTANG AKHLAK: Hadits ke-19

Hadits ke-19: Qana’ah dan Sederhana

A.    Redaksi Hadits

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ العَرَضِ وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ»

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kekayaan jiwa." (Muttafaq ‘Alaih)

B.     Takhrij Hadits

1.      Sunan Ibnu Majah, Bab al-Qana’ah no. 4137

2.      Sunan at-Tirmidzi, Bab Ma Ja’a anna al-Ghina Ghina an-Nafs no. 2373

3.      Musnad Ahmad, Musnad Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu no. 7316, no. 7555, no. 8074

4.      Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Tafsir Surah al-Hakumut Takatsur Bismillahirrahmanirrahim no. 3970

5.      Shahih Ibnu Hibban, Dzikru al-Khabar ad-Dalli ‘ala anna al-Malik min Hutham hadzihi ad-Dunya al-Faniyah no. 679, Dzikru Takhawwuf al-Mushthafa Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ‘ala Ummatihi min at-Takatsur fi al-Amwal wa at-Ta’ammudi fi al-Af’al no. 3222

C.    Kandungan Hadits

            Makna hadits di atas bahwa kekayaan yang bermanfaat atau yang agung atau yang terpuji adalah kekayaan jiwa. Penjelasannya, bahwa jika jiwa seseorang telah merasa cukup, maka cukuplah baginya segala sesuatu yang diinginkan. Dengan demikian maka jiwa itu menjadi mulia dan agung, serta mendapat ketenteraman, penghormatan, dan pujian yang lebih banyak daripada yang diterima oleh yang jiwanya miskin karena ketamakannya. Orang yang demikian sering terperosok ke dalam perkara yang hina dan perbuatan yang tercela, karena rendahnya harga diri dan kekikirannya.

            Intinya, orang yang jiwanya kaya akan merasa puas dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya, tidak tamak untuk mendapatkan tambahan yang tidak diperlukan, dan tidak memaksa dalam mencarinya serta tidak meminta-minta, bahkan rela dengan apa yang ditetapkan Allah untuknya, sehingga seolah-olah ia selalu berkecukupan. Adapun orang yang jiwanya miskin kebalikan dari itu, karena tidak puas dengan apa yang diperolehnya, bahkan ia selalu mencari tambahan dengan cara apapun. Kemudian jika yang dicarinya tidak tercapai maka ia sedih dan berduka, sehingga seolah-olah ia orang yang selalu kekurangan (karena tidak merasa cukup dengan yang diperolehnya). Oleh karena itu, ia bukan orang yang kaya.

            Kekayaan jiwa terlahir dari kerelaan terhadap ketetapan Allah dan pasrah kepada-Nya, karena apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Inilah yang memalingkannya dari kerakusan dan mencari-cari yang tidak dibutuhkan. Betapa indahnya ungkapan Imam Syafi’i mengenai hal ini: “Rezekimu tidak dikurangi oleh angan-angan dan kepuasan tidak bertambah pada harta. Tidak ada kesedihan meupun kesenangan yang terus menerus terjadi padamu, tidak pula keputusasaan dan tidak pula kelapangan. Jika engkau memiliki hati yang qana’ah (puas), maka engkau sama dengan pemilik dunia (orang kaya).”

Komentar