Hadits ke-9: Mencintai untuk Saudaranya Apa yang Dicintai untuk Dirinya Sendiri
A. Redaksi Hadits
عَنْ أَنَسٍ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ»
Dari Anas Radhiyallahu
‘Anhu dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam,
beliau bersabda, “Tidaklah beriman (dengan sempurna) seseorang di antara kamu
sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya
sendiri.” (Muttafaq ‘Alaih)
B. Takhrij Hadits
1. Shahih al-Bukhari, Bab Minal Iman an Yuhibba li Akhihi Ma Yuhibbu li
Nafsihi no. 13, Bab Halawah al-Iman no. 16, Bab Man Kariha an Ya’uda fi al-Kufri Kama Yakrahu
an Yulqa fi an-Nar minal Iman no. 21, Bab al-Hubbi Fillah no. 6041, Bab
Man Ikhtara adh-Dharba wa al-Qatla wa al-Hawan ‘ala al-Kufri no. 6941
2. Shahih Muslim, Bab Bayan Khishalin man Ittashafa Bihinna Wajada Halawath al-Iman
no. 43, Bab Wujubi Mahabbah Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam no.
44, Bab ad-Dalil ‘ala anna min Khishal al-Iman an Yuhibba li Akhihi
al-Muslim ma Yuhibbu li Nafsihi min al-Khair no. 45
3. Sunan Ibnu Majah, Bab Fi al-Iman no. 66-67, Bab ash-Shabri ‘ala al-Bala’ no. 4033
4. Sunan an-Nasa’i, Bab Tha’mul Iman no. 4987, Bab Halawatul Iman no. 4988, Bab
Halawatul Islam no. 4989, Bab ‘Alamatul Iman no. 5013-5014, no.
5016-5017, no. 5039
5. Sunan at-Tirmidzi, Abwab Shifat al-Qiyamah wa ar-Raqaiq wa al-Wara’ ‘an
Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam no. 2515, Abwab al-Iman no. 2624
6. Musnad Abi Dawud ath-Thayalisi, Bab Ma Rawa ‘Anhu Qatadah no. 2071, no. 2116
7. Musnad Ahmad, Musnad Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu no. 12002, no. 12122, no. 12765, no. 12783
8. Sunan ad-Darimi, Bab La Yu’minu Ahadukum Hatta Yuhibba li Akhihi Ma Yuhibbu li Nafsihi no. 2782-2783
C. Kandungan Hadits
Hadits
ini termasuk dalil yang menunjukkan bahwa seorang kecintaan seorang muslim
untuk saudaranya sesama muslim apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri
termasuk cabang keimanan, dan bahwa dengan hilangnya rasa cinta tersebut
berarti hilang pulalah keimanan. Akan tetapi apakah ini maknanya hilangnya asal
keimanan atau hilangnya kesempurnaan? Jawabannya ialah yang kedua, yaitu hilangnya
kesempurnaan iman, bukan asalnya.
Di
antara faedah yang terkandung dalan hadits di atas adalah keharusan seorang
muslim untuk bermu’amalah dengan mu’amalah yang ditunjukkan oleh hadits
tersebut. Ia tidak boleh memperlakukan mereka dengan ssuatu yang ia sendiri
tidak suka diperlakukan yang sama oleh mereka. Oleh sebab itu disebutkan dalam
hadits lain, “Barangsiapa ingin dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke
dalam surga maka hendaklah ia mendapati ajalnya (mati) sedang ia beriman kepada
Allah dan hari akhir, serta berbuat terhadap manusia dengan sesuatu yang dia
suka manusia berbuat begitu terhdapanya!”
Apabila
ada yang mengatakan, “Bagaimana kita mengkompromikan hadits ini dengan hadits ‘mulailah
dengan dirimu sendiri!’?” Maka dijawab sesungguhnya tidak ada kontradiksi di
antara keduanya. Engkau menyukai untuk saudaramu apa yang engkau sukai untuk
dirimu sendiri, namun bukan maksudnya engkau diperintahkan untuk mendahulukannya
dari dirimu, dan sikap lebih mengutamakan orang lain (itsar) adallah
perkara yang lain lagi.
Lebih mengutamakan orang lain bisa jadi dengan perkara yang wajib, mustahab (anjuran) atau mubah (dibolehkan). Itsar dengan perkara yang wajib haram hukumnya, sebab ia mengandung makna gugurnya sebuah kewajiban. Akan tetapi jika dalam hal ini meninggalkan perkara mustahab tersebut mengandung kemaslahatan yang lebih besar darinya yaitu dari kemaslahatan melakukan perkara mustahab, maka tidak mengapa mendahulukan orang lain. Adapun sikap mendahulukan dalam perkara yang mubah maka itu dianjurkan, karena hal tersebut mengandung makna berbuat baik kepada orang lain serta berakhlak dengan akhlak yang baik. Oleh sebab itu Allah memuji kaum Anshar, “Dan mereka mengutamakan atas (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meskiupun mereka juga memerlukan.” (QS. Al-Hasyr: 9).
Komentar
Posting Komentar